Jenderal (Purn) H. Djoko Santoso: Globalisasi Cenderung akan Berbenturan dengan Nasionalisme

Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke 13 ini terbilang purnawirawan TNI yang aktif di berbagai kegiatan kemasyarakatan. Pendiri, penasehat serta pembina Strategic Study Center ini mengingatkan, dalam konteks bela negara, selain komponen TNI dan Polri, perlu juga adanya komponen cadangan sebagai komponen pendukung. “Komponen cadangan ini, ya rakyat yang dipersiapkan,” ujar Djoko Santoso, mantan Panglima TNI di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.

Penulis buku Menggagas Indonesia Masa Depan ini menuturkan, dirinya sempat marah saat mengemukakan ide terkait komponen cadangan ini di depan peserta diskusi, yang digelar oleh salah satu organisasi mahasiswa di Indonesia. “Saya marah, ada yang tidak setuju dengan komponen cadangan tersebut. Ya sudahlah kalau tidak setuju, bubar saja negara ini. Karena negara ini milikmu nantinya,” geram Djoko mengingat kejadian ketika itu.

“Yang penting saya mau katakan adalah kita harus menyadari bahwa bernegara itu sesungguhnya berkonstitusi. Sehingga kalau negara itu ibaratnya kereta api, jalannya sudah ada rel. Kapan mau berhenti, dimana dan kapan mau bergerak itu sudah ada jadwalnya. Jadwal dan rel itu namanya konstitusi,” tegasnya.

Seperti kita ketahui bahwa elemen negara itu ada tiga, yakni rakyat, teritorial dan pemerintah yang sah. Pemerintah yang sah adalah pemerintah yang dipilih secara demokratis sesuai dengan konstitusi, ujarnya dengan serius. Dan dalam konstitusi urusan mempertahankan negara, bela negara sudah diatur dalam pasal 30, bahwa urusan mempertahankan negara bukan hanya tentara, tetapi urusan seluruh warga negara. Jadi bela negara itu adalah membela rakyat dan menjaga keutuhan teritorial, dari udara, permukaan tanah serta kandungannya, dan laut sampai dibawahnya, serta pemerintahan yang sah. Nah, baru bicara saja sudah ada yang tidak setuju, bahkan belum apa-apa sudah ribut-ribut. Aneh, iki keblinger, dengan mimik keheranan.

Hal ini bisa terjadi kata mantan Panglima Kodam XVI/Pattimura ini, satu diantaranya adalah karena pengaruh paham liberalisasi yang kuat, sehingga mempengaruhi pola pikir orang menjadi liberal. “Globalisasi cenderung akan berbenturan dengan nasionalisme. Liberal itu enak untuk segelintir orang, tetapi menjadi tidak enak bagi sebagian orang lagi,” tegas Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia ASA (Adil, Sejahtera, Aman) ini.

Dalam penilaiannya aliran liberalisasi sudah memporak-porandakan pertahanan konsepsi kita. “Pertahanan konsepsi adalah Undang-Undang Dasar dan Pancasila. Dengan adanya perubahan UUD, sebetulnya pertahanan kedepan kita sudah jebol,” ujar penerima bintang jasa Satyalancana Seroja ini.

Sebagai contoh, masuknya Indonesia ke dalam kelompok organisasi internasional yang bersifat liberal sebenarnya kita dalam posisi yang dirugikan. “Kita masuk ke dalam salah satu kelompok bisnis yang kita tidak bisa lagi mengambil keputusan bebas. Karena kita sudah masuk dalam “meja konsensus” liberal. Dalam dunia diplomasi perjanjian-perjanjian dengan negara lain itu menggerus kedaulatan kita. Seperti diskusi kita minggu lalu, bahwa sekarang kita sudah memiliki ketergantungan terhadap kebutuhan primer dari beberapa negara untuk pangan dan energi, siapa yang dirugikan? Kadang-kadang pemerintah tidak rugi tapi rakyatnya yang rugi. Disitulah kita perlu bela negara. Disini kita butuh operasi perang non-militer seperti, menghadapi bencana alam. Nah, swasembada pangan itu sebenarnya juga satu operasi Bela Negara,” papar putera Solo, yang terlahir 8 September 1952 ini.

Djoksan, begitu ia kerap disapa menambahkan, sejatinya konsep bela negara adalah bagaimana bela negara itu menjadi nilai-nilai, budaya, dan perilaku. “Di Amerika pasca Perang Dunia II kalau anak muda tidak ikut perang itu tidak keren, tidak ada apa-apanya. Kalau ibu-ibu pakai buatan luar negeri itu tidak pas. Kalau kamu senang makan apel tapi kamu beli apel impor itu sama saja kamu akan menghancurkan negaramu. Kalau kamu senang makan jeruk, beli yang dari Brastagi, jangan yang berasal dari luar negeri. Itu Bela Negara. Implementasinya harus sampai kesitu. Jadi harus menjadi nilai-nilai dan harus bisa diterapkan pada masyarakat,” ujar mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat periode 2005–2007 ini.

Djoksan mengharapkan semua kegiatan kemasyarakatan itu bisa diarahkan kepada bela negara. Untuk itu kata Djoko, diperlukan konsep ideologi yang bersumber pada rasa nasionalisme. “Nasionalisme timbul karena kecintaan, karena kita merasa memiliki, bila diganggu akan marah. Itu nasionalisme,” tegasnya. Dan dengan nada bertanya, “Apa benar semua warga Negara Indonesia itu cinta tanah air, wong kelompok masyarakat tertentu urusannya hanya duit tok?!”
Dengan sedikit bercanda, lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Terbuka ini mengisahkan beberapa pengalaman menarik mengenai soal nasionalisme. Pernah kita dikumpulkan oleh seorang pejabat yang punya program soal bagaimana mencintai produk-produk dalam negeri. Lalu saya katakan, “Yang terhormat bapak pembicara saya kira itu bagus sekali, tapi jam tangan bapak itu Rolex! Bahkan saat ini ada yang berpandangan bahwa, “Zaman sekarang nasionalisme itu masukkan saku saja!”

Selanjutnya dengan serius Jenderal berbintang empat ini menambahkan, bahwa suatu bangsa akan kehilangan jati diri, bahkan tidak akan berkembang bila mereka tidak memiliki landasan ideologi bagi penguatan karakter kebangsaannya. “Bangunan ideologi tersebut haruslah mampu mempertemukan titik persamaan dari sekian perbedaan dan memantapkan, serta menghargai keberadaan dari pluralitas yang ada,” jelas mantan Kasdam IV/Diponegoro tahun 2000 ini.

Menurutnya, lahirnya Pancasila menjawab kegelisahan hati warga negara, yang pada gilirannya adalah sebagai sumber inspirasi untuk seluruh kerangka pemikiran kebangsaan didalam menjalankan fungsi kenegaraannya. “Pancasila merupakan ideologi bangsa yang lahir dari proses perdebatan yang cukup panjang, lahir pada saat bangsa ini belum menemukan titik pijaknya dalam melangkah mengisi kemerdekaan yang baru didapatkan,” ujar Ketua Dewan Penasehat Forum Sekretaris Desa Indonesia (Forsekdesi) ini.

Paling tidak menurutnya, ada dua mainstream pemikiran yang berkembang pada proses perumusan Pancasila ini, yakni nasionalis kebangsaan dan keagamaan yang lebih menginginkan negara berbasis agama Islam. “Dua kerangka ideologis inilah yang sangat kuat mewarnai konstelasi perdebatan menuju suatu rumusan kesepakatan,” jelas Djoko lagi.
Kondisi ini menurutnya, tampak seakan paradigma keagamanaan terpisah dan berposisi vis a vis dengan paradigma nasionalis, sementara tentu hal ini merupakan sebuah kekaburan dimensi pemahaman yang tidak komprehensif. “Namun para pendahulu bangsa ini benar-benar tepat memaknai Islam dalam kesatuan dan akomodatifnya pada ide-ide kenegaraan-kebangsaan modern,” ujar penerima bintang jasa Pahlawan Gagah Angkatan Tentera dari pemerintah Malaysia ini menambahkan.

Djoksan menilai seluruh sila dalam Pancasila bertitik tolak pada dua pola hubungan yang utuh, ketuhanan dan kemanusiaan (hablun minallah dan hablun minannas). Prinsip Ketuhanan menurutnya merupakan terjalinnya keyakinan, tidak hanya individu tapi seluruh warga atas nama negara, terhadap hadirat Tuhan bagi seluruh manusia. “Keyakinan ini sebenarnya tidaklah mengacu pada konsep teologis agama tertentu, namun merupakan simbol dan substansial dari keberadaan nilai-nilai agama ini, sehingga ia menjadi kalimatun sawa, yaitu pandangan dan sikap bersama sebagai warga negara,” tegasnya.

Namun Djoksan menilai, Pancasila tampaknya masih terlalu awam dan abstrak untuk ditangkap oleh bangsa Indonesia pada umumnya, sehingga perlu dijabarkan agar nilai tersebut aplikatif dalam kehidupan setiap individu bangsa Indonesia.

Berdasarkan dari pemahaman ini menurut Djoksan, tidak ada celah bagi negara ini untuk “diswastanisasi” oleh ideologi maupun paham keagamaan tertentu. Meski faktanya telah cukup lama bermunculan di negeri ini, seperti usaha-usaha yang dimotori oleh organisasi-organisasi tertentu dengan misi mengubah dasar negara ini menjadi negara agama, berpaham komunis, dan lain-lain “Perlu dipahami secara mendasar bahwa kepercayaan keagamaan telah menetap di tanah air, sebelum bersatunya nusantara ini menjadi negara-bangsa atau nation-state,” ujar mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat masa bakti 2005–2007 ini.

Terkait hal ini Djoko sangat berharap ideologi seharusnya menjadi pemikiran generasi muda. “Perjuangan kita itu lebih berat, kita masih punya utang sejarah, yaitu mencapai cita-cita bangsa Indonesia. Angkatan 45 telah membuktikan, mampu menjawab tugas sejarahnya merebut kemerdekaan. Sedangkan yang mengisi kemerdekaan dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan kan kita sebagai generasi penerus,” kata mantan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkoopslihkam) 2002-2003, yang berhasil meredam konflik di Maluku ini. “Selanjutnya waktu atau sejarah yang akan membuktikan,” pungkasnya.

Dalam konteks bela negara menurutnya, secara aplikatif dia sertuju bila diterapkan program wajib militer di Indonesia. Pasalnya, kata Djoko, ada satu pomeo mengatakan, bila kita siap perang, orang akan segan dan akhirnya tidak jadi perang. “Kalau kita tidak kuat, kita tidak dilihat orang. Orang akan seenaknya saja masuk ke dalam rumah kita. Maka itu kenapa sekarang kita ini dipandang lemah? Karena mau membuat kekuatan untuk mempertahankan negara saja, sebagian masyarakat tidak setuju,” imbuh Ketua Dewan Penasehat Pandu Petani Indonesia (Patani) ini.

Dirinya menambahkan, bela negara itu ada programnya dengan pendidikan, ada nilai-nilainya, dan juga ada perangkat lunak dan perangkat kerasnya. “Sebenarnya program ini laksanakan saja. Orang luar akan lihat ternyata kita kuat juga. Singapura memang kecil, tapi kalau terjadi apa-apa bisa membentuk ratusan divisi,” jelasnya.

Agaknya, apa yang kemukakan Djoko itu tak lain bagian dari kerangka untuk kepentingan nasional. Pasalnya kata Djoksan, bela negara bagian dari kepentingan nasional, termasuk didalamnya mengatasi masalah-masalah ekonomi. “Bila kepentingan nasional ter-erosi maka kedaulatan kita juga ter-erosi,” tegasnya.

Setidaknya, apa yang pernah diucapkan Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia: “Peradaban yang besar tidak akan pernah runtuh terkecuali ia merobek-robek dirinya sendiri” menjadi isyarat dan renungan bersama bagi segenap anak bangsa untuk terus bangkit menjadi negara yang berdaulat dan bermartabat. (RD/KS/AS)

*hasil wawancara ini pernah di publish di Tabloid Nusantara edisi IV/2015

Tentang rusman

kenali aku apa adanya...
Pos ini dipublikasikan di Wawancara dan tag , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar